Tidak Mungkin Agama Terlepas dari Tradisi Lokal


Begitulah sejak awal perjumpaannya agama senantiasa bernegosiasi dengan tradisi lokal di wilayahnya. Negosiasi yang berlangsung tanpa henti ini kerap menemukan ketegangan. Ketegangan yang terjadi akibat asal-usul keduanya: agama yang membawa ‘misi langit’ dan tradisi lokal yang lahir di bumi yang diwarisi secara turun temurun. Namun, ketegangan itu lambat laun melunak. Tidak jarang antara keduanya saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi tradisi lokal, demikian pula sebaliknya, tradisi lokal mempengaruhi agama.

Bagaimana sebenarnya hubungan tradisi lokal dan agama? Untuk menggali lebih jauh mengenai sejauh mana pola relasi antara agama di satu sisi dan tradisi lokal di sisi yang lain, koresponden Tashwirul Afkar di Jember, Syamsudini, berhasil mewawancarai KH. Muchit Muzadi (Mustasyar PBNU) untuk membincang isu ini, khususnya terkait dengan bagaimana NU menyikapi tradisi lokal.


Bagaimana sebenarnya pandangan Nahdlatul Ulama terhadap tradisi lokal?

NU termasuk organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan lebih bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi Islam yang lain. Agama apa sih yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran dengan tradisi lokal atau budaya lokal? Itu tidak mungkin. Karena agama itu untuk manusia dan manusia di mana pun selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh lingkungan itulah yang menumbuhkan tradisi atau budaya lokal. Salah satu contoh (yang baik), Islam mengajarkan shalat dengan cara menutupi aurat. Di Indonesia, khususnya oleh yang perempuan, menutupi aurat itu diolah dengan mengenakan rukuh atau mukena. Kalau toh di negara lain sekarang juga mengenakan mukena padahal itu budaya Indonesia, itu artinya bahwa mukena itu merupakan produksi Indonesia yang biasa digunakan untuk melaksanakan shalat. Contoh lain adalah tentang “waladun shalihun yad’u lahu” (anak shaleh yang mendoakan orang tuanya). Di Indonesia, waladun shalihun yad’u lahu ini dirangkaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Misalnya di Jawa, kalau ada orang mati, orang-orang biasanya jagongan (berbincang, red.). Dengan jagongan itu, mereka membicarakan orang, terus keademen (kedinginan, red.), mereka cari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu dan lain-lain. Tradisi itu berlangsung lama. Hingga ketika para mubaligh Islam, Walisongo atau kiai, menerapkan yad’u lahu ini dirangkaikan dengan jagongan dan mele’an (begadang). Memang prosesnya cukup lama, hingga kemudian muncul apa yang dikenal saat ini dengan tradisi tahlilan. Tapi jangan dianggap gampang. Itu memerlukan perjuangan panjang dan tidak mudah: mengubah jagongan menjadi malam tahlilan.

Tapi ada sebagian orang yang menyoal bahwa tahlilan bagian dari pemborosan?

Kalau kemudian dipersoalkan aspek ekonominya, karena pembiayaannya yang boros, saya kira yang lebih boros dari tahlilan juga banyak. Bahkan untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan agama. Apalagi kemudian dipersoalkan apakah tahlil ini merupakan transfer pahala. Misalnya dengan membaca fatihah kita mendapatkan pahala, dan pahala itu ditransfer pada orang yang meninggal. Saya membaca fatihah, membaca Al-Qur’an, membaca subhanallah, kalimat-kalimat thayyibah, dll itu belum tentu dapat pahala. Saya membaca itu dengan memohon untuk mendapat pahala, dan kalau toh mendapat pahala saya mohon kepada Allah mudah-mudahan pahala itu diberikan juga kepada orang yang telah meninggal. Tentu saja itu merupakan bentuk permohonan. Jangan dianggap sebagai transaksi, tapi keinginan atau permohonan dari pelaku kepada Allah. Atau juga orang yang bersembahyang. Tidak boleh orang bersembahyang terus memastikan bahwa dirinya pasti mendapat pahala. Apalagi memastikan dengan ini ia terbebas dari api neraka. Itu tidak boleh dalam akidah Islamiyah. Karena itu masih masuk dalam kategori permohonan. Logikanya begitu. Tapi karena tidak semua orang bisa cerita tentang alur pemikiran dan perasaan ketika dia bertahlil, biarkan saja seperti itu.

Dalam komunitas tahlilan, masih banyak orang yang belum paham kenapa mereka harus tahlil, baik mengenai dalilnya ataupun lainnya. Bagaimana usaha dari NU?

Sudah. Tapi persoalannya kan ini masalah besar. Masalah yang terkait dengan orang banyak , dan dari sekian banyak itu sedikit sekali yang memikirkannya. Yang sulit diluruskan bukan hanya orang-orang awam di kampung-kampung, tapi juga intelektual-intelektual. Bahkan intelektual itu lebih sulit untuk diluruskan.

Terkait dengan intelektual yang patut diluruskan, sekarang banyak intelektual yang merasa abai dengan tradisi lokal. Bahkan mereka menganjurkan pemurnian dengan jargon kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Mbah Muchit bagaimana?

Pemurnian itu sama dengan menyapu lantai. Debunya yang dihilangkan, jangan lantainya. Persis kayak kita sikat gigi. Jadi kotorannya yang dihilangkan, bukan giginya. Ini yang sering kali kebablasan. Ya, kalau kebablasan dalam semua hal, tentu itu tidak baik. Ini yang perlu selalu kita perhatikan. Oleh karena itu, NU selalu menonjolkan sikap tawassuth, sikap jalan tengah. Terlalu ketat juga tidak bisa, itu namanya al-ghulugh fid din. Terlalu longgar juga tidak boleh, itu namanya tasahul fid din.

Terkait dengan tawassuth itu sendiri, bagaimana NU merespons munculnya beragam aliran belakangan ini. Apakah itu bagian dari ekspresi perjumpaan Islam dengan tradisi lokal?

Bagaimana pun minimalisnya, paling minimal orang menjadi Islam adalah membaca syahadat: Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Paling minim, bahkan minimnya minim. Jika berbeda dengan itu, menurut saya, mereka harus percaya diri mengaku gak Islam. Apalagi mengaku nabi sendiri, mengakui ada nabi lain selain Nabi Muhammad pun seharusnya orang itu dengan terang-terangan mengaku gak Islam. Selesai. Tidak akan ada reaksi kekerasan dari orang Islam. Tapi persoalannya, ia mengaku Islam, tapi mengaku ada nabi lain selain Nabi Muhammad, bahkan mengaku nabi sendiri. Ia seharusnya tidak mengaku Islam. Namun demikian, mereka bukan harus dibasmi. Basmi-membasmi ini urusan lain. Persis ketika ramai kasus Ahmadiyah, Andree Feillard datang ke sini. Ia cerita bahwa dia ikut rombongan yang mendatangi Gus Dur untuk meminta beliau menjadi panglima dalam melawan MUI. Karena MUI menyatakan Ahmadiyah sesat. Saya tanya, “Anda Katolik?” “Ya”. “Misalnya sekarang ada orang Katolik mengaku Yesus dan mengaku juga Muhammad nabinya, apakah orang itu masih Katolik?” Menurut saya, bukan hanya Katolik, Protestan pun akan mengatakan orang itu tidak Kristen lagi. Tapi kalau itu atas dasar demokrasi, saya juga beragumen demikian. Saya mau tanya: “Apakah mengaku nabi itu termasuk hak asasi manusia sehingga harus bela? Kalau hal semacam itu harus dilindungi atas dasar HAM, menurut saya yang sepatutnya lebih perlu untuk dilindungi adalah agama-agama mapan. Ia harus dilindungi dari rongrongan orang seperti itu. Jadi sama-sama memerlukan perlindungan. Umumnya, orang-orang pintar mengatakan bahwa kita sebagai sesama manusia tidak berhak untuk mengatakan sesat. Itu hak Allah. Menurut saya, mengaku Nabi itu sebenarnya melanggar hak Allah. Hal seperti ini sering kali kurang bisa didialogkan. Saya tidak tahu apakah hal semacam ini perlu didialogkan. Karena sering kali dialog itu tidak menghasilkan kecerahan, malah keruwetan. Di sinilah bedanya orang yang beragama dengan orang yang hanya berpikiran bebas saja. []

Comments

Popular posts from this blog

Biografia Grupo Rivales De San Pedro

Elon Musk says monster Tesla seen on racetrack will go into production by summer 2020